Semulia apa pun sosok bernama ibu, ia tetaplah
manusia. Meski banyak tindakan dan perilakunya yang seringkali seperti
malaikat, ia tetaplah insan biasa yang tak luput dari khilaf dan salah. Apalagi
dalam hubungan anak-orangtua yang seringkali terjadi kesalahpahaman.
Anak selalu merasa benar dan egois, sedangkan
orangtua seringkali mengalah demi kebaikan. Meskipun, kadang-kadang, karena
kemanusiawianya itu, orangtua tak jarang pula berlaku salah. Dalam hal ini,
orangtua yang berlaku salah selalu mawas diri, segera menyadari, meminta maaf
dan bergegas memperbaikinya.
Dikisahkan dalam sebuah hikayat, seorang ibu
memarahi anaknya. Sebabnya karena makanan. Mulanya sepele, namun berujung
membesar karena anak dan ibu itu dipengaruhi egonya masing-masing. Maka karena
kejadian itu, sang anak kabur entah ke mana.
Ia pergi di pagi hari, berjalan entah ke mana,
hingga sampailah di sebuah tempat saat tenaganya hampir habis. Ketika itulah,
sikap nalurinya sebagai manusia berteriak. Ia butuh makan. Kemudian, mampirlah
ia ke sebuah warung nasi yang terletak tak jauh dari jalan yang dilalui. Meski
bingung karena tak memiliki uang, ia memberanikan diri memesan makanan. Katanya
lemah, “Bu, pesan nasi satu piring.”
Ibu penjaga warung pun mengangguk, kemudian sang
anak menunggu di emperan warung. Sengaja tak masuk ke dalam. Tetiba, air
matanya menetes. Terbayanglah wajah lelah ibunya di rumah. Ada rasa bersalah,
tapi bercampur dengan egois yang tak kunjung reda. Demi melihat anak pemesan nasi
itu menangis, Ibu Warung memberanikan diri bertanya, “Apa yang terjadi
denganmu, Nak?”
Kemudian diceritakanlah apa yang terjadi dengan
runut. Hingga, tanpa sadar, sang anak berkisah, “Aku terharu saat kau
mengiyakan pesananku. Padahal, kita baru pertama kali bertemu. Aku juga tak
punyai uang.” Sembari menatap teduh, anak itu melanjutkan, “Bahkan, ibuku tak
memberikan izin makan tadi pagi. Tapi, kau memberikannya cuma-cuma,” dari sini,
jelaslah bahwa ada kesalahpahaman antara sang anak dan ibunya itu.
Dengan naluri keibuan yang tulus, Ibu Warung
menasehati, “Nak,” ia memulai, “pulanglah. Ibumu pasti menunggumu.” Lanjutnya
meyakinkan, “Aku baru memberimu sepiring nasi. Itu pun kulakukan karena mengira
bahwa kau memiliki uang.” Duhai, betapa malunya sang anak mendengar penuturan
itu. Jelas Ibu Warung, “Kau sudah hitung berapa ribu piring nasi yang diberikan
oleh ibumu sedari kecil hingga sebesar ini?” Di akhir kalimat itu, tergugulah
sang anak; tangisnya tumpah.
Kemudian, tanpa pamit, sang anak bergegas berlari
menuju rumahnya. Meski jauh, sama sekali tak terasa.
Sesampainya di rumah, ia ragu untuk mengetuk pintu. Namun, dari kejauhan, terlihatlah ibunya yang mondar-mandir di halaman rumah sambil memerhatikan jalan. Saat terlihat bayangan orang setinggi anaknya, ibu itu bergeas, berlari menyambutnya.
Sesampainya di rumah, ia ragu untuk mengetuk pintu. Namun, dari kejauhan, terlihatlah ibunya yang mondar-mandir di halaman rumah sambil memerhatikan jalan. Saat terlihat bayangan orang setinggi anaknya, ibu itu bergeas, berlari menyambutnya.
Dengan tergopoh, ibu mulia hati itu berujar,
“Duhai, anakku. Dari mana, Sayang? Aku menunggu seharian hingga larut.” Ah, ibu
memang berhati malaikat. Simaklah penuturan selanjutnya, “Ayo ganti maju. Ibu
sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi dan makanan telah siap, masih hangat
karena kutaruh di penghangat makanan.” Mendengar kalimat ibu nan tulus itu,
lemaslah lutut sang anak hingga ia terduduk kemudian bersujud di kaki ibunya
itu.
Sahabat, mungkin ini yang kita alami. Dengan
mudahnya diri mengakui kebaikan orang lain. Padahal, baru sekali bertemu dan
sedikit sekali kebaikan yang diberikan oleh orang itu. Namun, hal itu tak
berlaku untuk ibu dan orangtua. Kita seakan lupa, padahal satu-satunya alasan
mengapa kita tumbuh sampai sebesar ini adalah kebaikan ibu dan orangtua kepada
kita, tentu atas Kuasa-Nya. Kebaikan yang tulus, tanpa pamrih, dan sama sekali
tak berbatas. Sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar