Jumat, 01 Mei 2009

Religiusitas dalam novel "Laila Majnun" Karya Nizami

Jumat, 01 Mei 2009

Tugas peserta didik tentang religiusitas novel Laila Majnun


Artikel Pendidikan

RELIGIUSITAS DALAM NOVEL “LAILA MAJNUN” KARYA NIZAMI

PENGANTAR

Sastra sebagai karya yang indah dan muncul dari unsur di luar karya sebagai pengungkapan apa yang telah dialami oleh pengarang. Dalam menuangkan karyanya seorang pengarang tidak muncul dari kekosongan. Karya itu hadir dari kreativitas pengarang yang memiliki latar belakang sosial dan agama yang melingkupinya. Sastrawan kadang memasukkan berbagai unsur-unsur yang ada dalam lingkungannya. Seperti unsur religiusitas dalam yang mengungkapkan unsur Tuhan dalam sastranya. Teks-teks sastra adalah teks-teks yang di buat untuk kenikmatan dan membangkitkan perasaan, meskipun mengandung berbagai pengetahuan yang bisa diperoleh dengan berpikir. (An-Nabhani, 2003: 145).

Novel merupakan teks sastra atau karya yang paling detail di masyarakat. Baik masalah ekonomi, politik, pendidikan, budaya, agama, dan sebagainya. Alasan yang dapat dikemukakan diantaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur yag paling lengkap, memiliki media yang paling luas, meyakinkan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat oleh karena itulah dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris (Ratna, 2004: 335-336). Menurut Najid (2003: 9) karya sastra sebagai refleksi kehidupan akan terus mewakili situasi dan keadaan sekitarnya.

Sebagaimana pendapat di atas, novel Laila Majnun ini mengangkat sebuah kisah kehidupan masyarakat di jazirah Arab. Novel Laila Majnun ini berasal dari cerita masyarakat di jazirah Arab yang kemudian diolah dan diungkapkan oleh pengarang sedemikian rupa dengan adanya penambahan-penambahan kreativitas pengarang dalam karya sastra tersebut.
Unsur religiusitas dalam kesususasteraan berarti pengarang ingin memasuki dunia sastra dalam dakwahnya karena penulis biasanya bertujuan untuk dakwah dan berusaha mengajak pembaca untuk kembali kepada hakikat diri setiap manusia bahwa dalam Islam aktivitas yang dilakukan hanyalah untuk mendapat RidhoNya. Penulis menambah unsur kreativitas dalam menulis karyanya untuk memikat pembaca.

Cinta pada manusia ada dua macam yaitu cinta mistik atau rohani dan cinta alami atau kodrati (Hadi, 2004: 142). Cinta Mistik terjadi pada Tuhannya, cinta kodrati tertuju pada sesama manusia dan lingkungan. Bertolak dari teori tersebut, pada hakikatnya, manusia secara fitrah memiliki dua cinta tersebut yaitu cinta kepada Tuhannya dan cinta kepada sesama manusia dan lingkungannya. Seperti tampak pada novel Laila Majnun karya Nizami, sebagai manusia Laila, Majnun, maupun Sayid juga memiliki kedua cinta tersebut. Laila dan Majnun selain mereka berdua cinta kepada sesama tetapi, mereka juga cinta kepada Tuhannya dengan mengingatNya dan senantiasa berdoa kepadaNya. Begitupun Sayid yang memiliki cinta kepada anaknya juga cinta kepada Tuhannya.
Religiusitas lebih melihat aspek yang ”di dalam lubuk hati” riak getaran hati nurani pribadi: sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, ”du coour” dalam arti paskal yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalam si pribadi manusia dan karena itu pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak formal, formal resmi. Religiusitas lebih bergerak dalam tatanan paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya lebih intim (Mangunwijaya, 1982: 11-12).

Religiusitas bisa dikatakan lebih mengarah kepada ruh dan ruh ini bersemayam dalam diri manusia baik di hati, jiwa, maupun pikiran karena adanya ruh itu. Manusia yang keberadaannya sebagai ciptan Tuhan sebagai aspek rohani yang harus disadari. Pada dasarnya orang yang beragama tertentu karena adanya ruh. Dan ruh itulah yang mengajak orang beragama untuk selalu menaati aturan atau perintah dari ajaran yang diyakininya. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu dapat juga orang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan materi atau karier politik, ingin memperoleh jodoh yang beragama lain dari dia atau biasa karena tidak ada pilihan lain: cukup beragama statistik belaka (Mangunwijaya, 1982: 12).

Ruh yang dimaksudkan di atas adalah ruh yang berarti rahasia hidup atau nyawa. Ruh ini adalah sesuatu yang ghoib dan merupakan urusan Tuhan. Manusia bisa hidup karena ada ruh itu. Manusia yang keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan merupakan aspek rohani yang harus disadari.

Agama dalam arti luas dapat difefinisikan sebagai penerimaan atas tata cara dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri. Naluri beragam secara fitrah sudah ada pada manusia. Karena sifat fitrah juga manusia adalah makhluk terbatas yang lemah dan membutuhkan sesuatu yang lebih agung darinya. Pernyataan tersebut menandakan bahwa manusia makhluk religi dan tidak hanya sekadar beragama. Ismail (1993:136) selalu didapati bahwa setiap manusia sebenarnya beragama semenjak Allah sendiri menciptakannya dan setiap manusia menyembah sesuatu. Ada yang menyembah matahari, planet-planet, api, berhala, atau menyembah Allah SWT.
Hal ini seperti pendapat Mangunwijaya di atas. Meski banyak yang mengaku memiliki agama, namun pada faktanya banyak yang tidak mau menjalankan ajaran agama yang diyakininya. Misalnya, orang yang mengaku beragama islam tetapi ia tidak mau menjalankan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya atau orang yang mengaku beragama Kristen tetapi tidak ingin ke gereja.

Berdasarkan uraian di atas, religiusitas berarti mengarah pada manusia yang menghubungkan dia pada ruhnya dan religinya. Manusia pada dasarnya memiliki naluri dalam beragama. Apakah hal itu dapat mempengaruhinya atau tidak bergantung pada individu masing-masing dalam memahami keberadaan sang penciptanya.

LANDASAN TEORI

Menurut Ismail (1993: 134) di dalam diri manusia terdapat potensi hidup (dorongan/semangat) yang senantiasa mendorong melakukan kegiatan serta menuntut pemuasan. Potensi tersebut memiliki dua bentuk manifestasi. Yang pertama menuntut adanya pemenuhan yang bersifat pasti, jika tidak terpenuhi maka manusia dapat binasa. Inilah yang dinamakan kebutuhan jasmaniah (haajatul ’udhuwiyah) seperti makan minum dan membuang hajat. Kedua menuntut adanya pemenuhan saja tetapi tidak dipenuhi manusia tidak akan mati melainkan akan merasa gelisah hingga terpenuhinya kebutuhan tersebut inilah yang dinakan naluri (gharizah). Seperti yang dialami Laila dan Majnun bahwa mereka mengalami kegelisahan karena naluri (gharizah) mempertahankan jenis tidak terpenuhi sehingga mereka menjadi gelisah, linglung, dan menjauhi segala kesenangan dunia serta larut dalam kesedihan bahkan sampai Majnun menjadi gila karenanya dengan cara mengembara tanpa tujuan pasti.
Tetapi, hal ini tidak akan membuat dia mati, tetapi kegelisahannya membuat dia tidak memenuhi kebutuhan jasmaninya dalam hal makan dan minum yang pemenuhannya bersifat pasti sehingga pada akhirnya menghantarkan dia mati.

Senada dengan Ismail, Abdullah (2002: 43) mengatakan bahwa Allah telah meniupkan ruh sebagai nyawa manusia dan juga memberikan pada diri manusia potensi hidup yang tercermin dalam tiga potensi (khosyiyah), yakni: kebutuhan jasmani, naluri-naluri, dan akal (idrok) yang semuanya telah ada pada setiap yang hidup. Abdullah (2002: 13-17) mengklasifikasikan naluri (gharizah) menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) naluri mempertahankan diri (gharizah baqo’), berupa penampakan takut, senang memiliki, cinta golongan, cinta kekuasaan, cinta kehormatan, dan lain-lain yang menghantarkan pada aktivitas-aktivitas untuk menjaga kelangsungan hidup manusia sebagai individu; 2) naluri seksual (gharizah nau’), berupa rasa lemah lembut, kasih sayang, kecenderungan seksual dan lain-lain yang membuahkan perbuatan yang menjaga keberlangsungan spesies manusia; 3) naluri beragama (gharizah tadayyun), berupa rasa takut akan hari kiamat, cenderung memuliakan orang-orang kuat dan kagum dengan sistem alam dan lain-lain yang membuahkan perbuatan untuk menjaga perasaan (emosi) manusia akan kelemahan dan kebutuhan pada Al khaliq.
Pernyataan tersebut menandakan bahwa manusia makhluk religi dan tidak hanya sekadar beragama karena pada dasarnya beragama tetap ada dalam diri manusia. Sebagaimana pendapat Mangunwijaya (1982: 19) orang yang beragama banyak yang religius dan seharusnya memang demikian. Pernyataan senada juga dalam Ismail (1993: 136) selalu didapati bahwa setiap manusia sebenarnya ”beragama” semenjak Allah SWT menciptakannya dan setiap manusia pasti menyembah sesuatu. Ada yang menyembah matahari, planet-planet, api, berhala, atau menyembah Allah SWT. Oleh karena itu, penulis mengambil teori ini bahwa gharizah tadayyun pasti dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh Laila, Majnun, dan Sayid. Bentuk pemenuhannya gharizah tadayyun oleh Majnun dengan berdoa kepada Tuhannya.
”Majnun berkata, ”Ya Tuhan! Kepada siapa aku bisa berpaling jika tidak kepadaMu? Venus dan Jupiter tidak lain selain hambaMu, menjalankan perintahMu, sementara Engkaulah yang menciptakan segala sesuatu.”
Bentuk pemenuhan gharizah tadayyun, begitu pula yang di alami oleh Laila dalam suratnya dia mengawalinya dengan berdoa kepada Tuhannya.
”Aku awali surat ini dengan nama sang Raja yang memberikan kehidupan kepada jiwa dan pertolongan kepada hati. IlmuNya meliputi segala sesuatu dan keadilanNya adalah mutlak.”
Bentuk pemenuhan gharizah tadayyun oleh Sayid yaitu dengan berdoa, berpuasa, dan berderma pada saat dia ingin mendapatkan anak.
”Dan demikianlah, sang Sayid selalu berdoa, berpuasa, dan berderma hingga ketika ia baru saja akan menyerah, Tuhan akhirnya mengabulkan permintaannya. Ia dianugerahi seorang anak laki-laki.”
Tidak pernah ditemui pada masa pun atau pada umat dan bangsa mana pun kecuali mereka senantiasa menyembah sesuatu. Oleh karena itu, tidak ada kekuatanpun yang mampu mencabut rasa beragama dalam diri manusia atau menghilangkan usaha taqdis (mensucikan) terhadap Al Kholiq atau mencegah manusia beribadah yang mungkin dilakukan hanya meredamnya untuk sementara waktu. Sebab ibadah adalah perwujudan alami dari rasa beragama yang merupakan salah satu naluri dalam diri manusia.

Dalam menciptakan karya sastra pengarang tidak lepas dari lingkungan masyarakatnya. Sastrawan tidak hidup sendiri, sebagai anggota masyarakat dia juga berintereksi dengan orang lain yang berada disekitarnya. Sastrawan/penyair ialah warga yang memiliki status khusus. Sastrawan/penyair mendapat penghargaan dan pengakuan masyarakat dan mempunyai massa walaupun hanya secara teoritis (Wellek, 1990:109).

Melalui karya sastra, sastrawan/seniman menyampaikan fenomena komplek yang senantiasa terjadi dan mewarnai kehidupan manusia. Sebagaimana menurut Iqbal dalam Hadi (2000: 20) seniman ialah guru yang memiliki tugas menyampaikan dan menyebarkan makna hakiki ajaran Nabi-Nabi. Pokok paling dasar dari ajaran Nabi adalah Tidak Ada Tuhan Selain Allah.

Sebagai konsekuensi seni yang harus mampu mendorong bertambahnya tingkat keimanan kepada pembacanya, sebab iman ialah cara vital menghadapi kehidupan, melengkapi cinta intelektual. Iman bukan sesuatu yang pasif bila dihayati sungguh-sungguh. Ia mampu menjelmakan pribadi yang dinamik dan tindakan-tindakan yang kreatif.

Banyak sekali informasi dan pengetahuan yang dapat digali dari sebuah karya sastra apabila karya sastra itu memiliki kualitas. Melalui karya sastra juga dapat diperoleh informasi atau pemahaman tentang bagaimana kehidupan masyarakat tertentu atau secara umum. Apabila yang kira baca itu setting di wilayah Rusia (Aminudin, 2002: 62-63) maka dapat diketahui bagaimana struktur masyarakat di Rusia. Sebagaima pendapat Teeuw (1988: 153) karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya dari latar belakang struktur sosial tertentu. Dari pernyatan di atas dapat dikaitkan dalam novel Laila Majnun ini bahwa Nizami hendak menyampaikan sebuah kehidupan masyarakat dengan latar belakang struktur sosial di wilayah tertentu yaitu di wilayah jazirah Arab. Munculnya sastra religius merupakan wujud ungkapan penghayatan seseorang terhadap Tuhannya. Dalam konteks sastra religius, pandangan umum mengungkap bahwa yang dinamakan sastra religi ialah sastra yang mengusung lambang-lambang agama, baik itu Islam, Kristen, dan lainnya. Dengan begitu, penyebut beberapa metafor dalam karya itu mengacu pada kekhasan dari sebuah agama.

Dalam novel ini mengambil lambang-lambang dari Islam seperti Ka’bah, Haji, dan juga Allah dan Rasullullah Muhammad. Seperti dalam penggalan kutipan novel di bawah ini.
”.......Dan pada hari pertama di bulan terakhir tahun Hijriah –bulan Haji ia berangkat bersama sebuah kafilah kecil dengan mengendarai unta terbaiknya untuk menuju kota suci Mekkah.” (Nizami 2007: 44). ”........Hatinya yang sebelum begitu berat oleh keputusan seketika menjadi cerah begitu ia memandang Ka’bah yang dikelilingi ribuan jemaah berihram putih bagaikan ngengat-ngengat yang mengerubungi nyala api.” (Nizami 2007:44). ”.....Demi Allah yang Maha Kuasa dan RasulNya, Muhammad, aku berjanji bahwa akau akan berperang bagaikan singauntuk kepentinganmu, bahkan mengorbankan jiwaku jika harus.”(Nizami 2007:80).

PEMBAHASAN

Seperti telah dijelaskan bahwa gharizah tadayyun mengarah pada pembahasan religiusitas yang terdapat dalam novel Laila Majnun karya Nizami.
Dari hasil penelaah data yang sudah ada, penulis mencoba mengungkap unsur-unsur religi dari novel ini dengan menganalisis perwujudan pengakuan manusia terhadap sang Pencipta sebagai Dzat yang Agung dan Kuasa atas segala sesuatu. Oleh karena itu, penulis menelitinya dari wujud hubungan manusia dengan Pencipta yang dialam oleh tokoh Laila, Majnun, dan Sayid.

1. Bentuk religiusitas tokoh Majnun dalam novel Laila Majnun karya Nizami.

Dalam Abdullah (1996:16-17) naluri/gharizah terdiri dari tiga jenis, yakni: 1) gharizah tadayyun yang berarti setiap manusia pasti memliki fitrah untuk mensucikan sesuatu yang dianggap lebih, 2) gharizah nau’ yang berarti naluri seks seperti lemah lembut, kasih sayang, kecenderungan seksual, dan lain-lain, 3) gharizah baqo’, yaitu naluri untuk mempertahankan diri, seperti rasa takut, rasa berani, kikir, dan lain-lain. Dalam hal ini, Majnun tidak bisa mengendalikan nalurinya dan melandaskan hal itu dengan tepat dari hukum-hukum Allah sebagai pencipta dan pengatur ciptaan sehingga manusia dapat berjalan sesuai dengan fitrahnya dan agar tidak terjadi kerusakan ketika manusia melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sang pengaturnya. Pencipta tidak akan memberikan peraturan-peraturan kepada manusia di luar fitrah manusia dan Dia pasti akan memberikan untuk kemaslahatan umat manusia.

”Keputusasaannya kini menjadi lebih dalam dari sebelumnya. Tidak ada kata-kata yang dapat menghiburnya; tidak ada satupun yang dapat dilakukan untuk meredakan kepedihannya, sebuah kepedihan yang telah membuat hari-harinya menjadi gelap dan mengubah dirinya menjadi malam tanpa akhir. Ia tidak dapat atau tidur: sepanjang waktu ia akan memukuli wajahnya dengan tangannya sendiri serta mengoyak-ngoyak jubahnya. Majnun menjadi tuna wisma, orang yang terbuang dari negeri kebahagiaan dan menjadi seorang peratap yang abadi di negeri kepedihan.” (Nizami, 2007: 36).

Ketika Majnun memikirkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah sementara dan kehidupan yang kekal hanyalah di akhirat kelak yang jika di surga ada bidadari yang bermata jeli lagi suci yang tak pernah tersentuh oleh siapapun. Majnun tidak akan melakukan hal itu. Ia menjadi tegar dan menundukkan pandangannya ketika melihat surga dunia seperti seorang wanita.
Tokoh Majnun dalam novel ini mengalami kegelisahan karena naluri dia untuk mencintai dengan lawan jenis tidak terpenuhi. Kegelisahan yang tiada diimbangi dengan keimanan dan ketaqwaan tidak akan menjadi wajar. Karena secara fitrah manusia memiliki naluri baik itu naluri beragama, naluri untuk berkasih sayang baik itu lawan jenis atau kepada orang tua dan saudara. Majnun yang cintanya kepada Laila tak tersampaikan karena adanya halangan orang tua membuat Majnun mengalami kegelisahan yang berkepanjangan hingga tak peduli lagi dengan dirinya sendiri, lingkungan sekitar.
”Laila, akau telah jatuh dan akau tidak lagi memiliki kekuatan untuk bangkit. Datanglah kepadaku, duhai belahan hatiku, gengamlah tanganku. Raih dan sentuhlah aku, karena aku sudah tidak tahan lagi menahan kesepian ini. Aku adalah milikmu. Oleh sebab itu, datang dan bawahlah aku; aku lebih berguna bagimu dalam keadaan hidup daripada bila aku telah mati.” (Nizami, 2007: 39).

Dari segi munculnya dorongan (tuntutan pemuasan), naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani. Sebab dorongan kebutuhan jasmani bersifat internal (misalnya, orang ingin makan karena lapar dan ini tidakmemerlukan dorongan dari luar). Sedangkan naluri sesungguhnya yang mendorong atau yang melahirkan suatu perasaan yang menuntut pemenuhan, dapat berupa: pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang dapat mempengaruhi perasaan atau brupa kenyataan yang dapat diindera yang mendorong perasaan untuk memenuhinya. Naluri untuk mengembangkan atau melestarikan jenis misalnya, bisa dirancang karena memikirkan atau melihat seorang wanita cantik segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Apabila rangsangan itu tidak ada, maka naluri pun tidak muncul (Ismail, 1993:134).

”Suatu hari sang guru menerima seorang murid baru, seorang gadis yang cantik. Qais dan murid laki-laki dalam kelas itu seketika jatuh hati pada sang gadis. Nama gadis itu adalah Laila, berasal dari bahasa Arab ”Lail”, yang berarti ”malam”, karena di bawah bayangan rambutnya, wajahnya bersinar bagaikan bulan purnama yang memancarkan keindahan cahaya. Matanya hitam, dalam, dan bersinar-sinar bagaikan mata seekor rusa. Dan dengan sebuah kibasan bulu matanya, ia mampu mengubah seluruh dunia menjadi puing-puing. Mulutnya yang mungil terbuka hanya untuk mengucapkan hal-hal yang indah. ” (Nizami, 2007:16).

Majnun memiliki masalah dalam pemenuhan nalurinya untuk mengembangkan/melesatarikan jenisnya. Laila dan Majnun bertemu dalam sebuah majlis ilmu dimana mereka saling tertarik mulai awal bertemu. Qais (Majnun) bertemu dengan Laila yang merupakan seorang perempuan cantik yang tak seorangpun dapat menolaknya dan tidak terpesona dengan kecantikan dan keelokkan Laila. Laila ialah seorang yang digambarkan sangat perfect dengan rambut yang hitam, wajahnya bersinar bagaikan bulan purnama serta senyuman yang memerah seolah seperti mawar merah yang merekah seolah mawar merah merekah di pipinya. Tak seorang laki-lakipun yang tidak menginginkannya.

Naluri beragama merupakan perasaan membutuhkan kepada sang pencipta yang Maha Kuasa yang mengaturnya tanpa memandang siapa yang dianggap sang pencipta tersebut (Ismail, 1993:135). Hal ini telah dilakukan Qais (Majnun) sebagai manusia juga memilki fitrah untuk beragama. Majnun dalam kegelisahannya dan keterpisahannya dengan Laila masih memiliki naluri beragama yaitu dengan senantiasa menyebutNya. Dalam kegelisahannya, dai mencari siapa yang dapat menolongnya dari ketakberdayaannya. Saat memandang cakrawala, dia bertanya kepada Venus, jupiter, dan planet-planet yang lain tetapi mereka diam tak bisa menolongnya hingga dia sadar bahwa mereka hanyalah makhluk yang sama seperti dia yang tidaka bisa membantunya. Mereka semuanya merupakan ciptaan dan setiap ciptaan pasti ada pencipta sehingga akhirnya dia berdoa kepada Dia yang telah menciptakan makhluk di bumi.

”Kemudian Majnun mengangkat wajahnya ke langit sekali lagi, tapi kali ini tidak untuk memohon kepada bintang-bintang itu. Mereka hanyalah makhluk seperti aku, pikirnya. Dan dimana ada makhluk pasti ada pencipta. jika ciptaan tidak menjawabku, pikirnya, mungkin Penciptanya akan menjawab. Kemudian Majnun berdoa kepada Dia yang telah menciptakan semua makhluk di bumi, dan Dia yang tidak membutuhkan apa pun. Majnun berkata, ”Ya Tuhan! Kepada siapa aku bisa berpaling jika tidak kepadaMu? Venus dan Jupiter tidak lain selain hambaMu, menjalankan perintahMu, sementara Engkaulah yang menciptakan segala sesuatu. PengetahuanMu meliputi segala sesuatu, sementara samudera kasih sayangMu tidak terukur. Semua kekuatan adalah milikMu, dan tidak ada belenggu sekuat apa pun yang tidak dapat Kau hancurkan.

Kau adalah hakim agung, Tuhan yang memelihara dan menjaga semua makhluk. Betapapun besar yang dimiliki seseorang di dunia ini, mereka memilikinya karena Engkau. Kaulah yang menolong mereka yang membutuhkan pertolongan. Kami semua adalah tawanan dalam belenggu, dan tidak ada seorangpun yang dapat menolong kami selain Engkau. Tujuh lapis langit dan semua yang berada di dalamnya adalah milikMu. Semua makhluk betapa pun besarnya ataupun tidak berartinya-tunduk kepada-Mu.” (Nizami, 2007:172).

Bukti pengakuannya Majnun terhadap sang pencipta juga dapat di lihat dari surat cintanya yang dia tulis untuk Laila dengan di awali Doa kepada Tuhan. Sebagai makhluk yang tidak lepas dan membutuhkan dengan sang Penciptanya, Majnun berharap bahwa Tuhan mampu mengembalikan mereka yang berpaling kepadaNya.
”Duhai Tuhan, pengetahuanMu meliputi segala sesuatu: Kau mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi karena kau telah menciptakan bebatuan maupun intan berharga yang terjebak di dalamnya. Milik-Mulah apa-apa yang ada di langit beserta bintang-bintangnya......
Dan kau adalah Dia yang mendengar do’a dari mereka yang membutuhkan ketika mereka berpaling kepadaMu.” (Nizami: 2007: 193).
Segala sesuatu yang ada di alam ini tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengadakan (ibda’) sesuatu dari tidak ada (menjadi ada) baik hal itu dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Ketidakmampuannya menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada, tampak dan dapat diindera. Ini berarti tidak bersifat azali karena sesuatu yang bersifat azali tidak ada pemulaannya harus terhindar dari sifat-sifat tidak mampu (lemah) serta wajib bersifat kuasa untuk menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. (An-Nabhani, 2003: 28).
”Tuhanku! Kau menciptakanku dari tanah liat, pekat, hitam, dan berat, lalu meniupkan ruh kepadaku dari ruhMu sendiri. Kehidupan berasal dariMu, hanya Kaulah yang mampu menghidupkan mereka yang telah mati.”(Nizami, 2007: 172)

Dalam keterasingannya Majnun sebagai pengembara yang tidak ingin berbaur dengan masyarakat lain dan dalam perjalanannya dia tahu bahwa setiap yang ada di bumi ini hanyalah ciptaan dan ciptaan itu tidak akan terlepas oleh penciptanya. Keagungan dan kebesaran pencipta ia rasakan. Bentuk religiusitas dari Majnun dapat dilihat pula dalam pengakuan Majnun bahwa ia berasal dari Allah yang telah dan menciptakannya dari tanah liat kemudian meniupkan ruh pada saat ia sadar bahwa ayahnya telah tiada untuk pergi kepadaNya.

2. Bentuk religiusitas tokoh Laila dalam hubungannya dengan Pencipta dalam novel Laila Majnun karya Nizami.

Bentuk religiusitas dari tokoh Laila dalam novel ini yaitu ketika dia di paksa oleh sang suaminya untuk memenuhi keinginan suami. Dia bersumpah dengan mengatasnamakan Tuhan dalam sumpahnya itu. Hal ini berarti Laila juga memiliki naluri tadayyun yang mentaqdiskan sesuatu.
”Aku bersumpah, demi Tuhan jika kau mencobanya sekali lagi, Laila menjerit, kau akan menyesalinya seumur hidup! Aku telah berjanji kepada penciptaku bahwa aku tidak akan menyerah kepada keinginanmu. Kau bisa menyembelih leherku dengan pedangmu kalau kau mau, tapi kau tidak bisa mendapatkanku dengan paksaan!” (Nizami, 2007: 127).

Sama halnya dengan Majnun dalam surat cintanya yang dia tulis untuk Laila dengan di awali Doa kepada Tuhan. Sebagai makhluk yang tidak lepas dan membutuhkan dengan sang Penciptanya, Laila berharap bahwa Tuhan akan menyinari hambaNya sehingga dapat meraih keselamatan.
” Aku awali surat ini dengan nama sang Raja yang memberikan kehidupan kepada jiwa dan pertolongan kepada hati. IlmuNya meliputi segala sesuatu dan keadilanNya adalah mutlak. Dia melihat dan mendengar segala sesuatu bahkan doa makhluk-makhluk yang tak dapat berbicara sekalipun....
Dia telah meniupkan ruhNya kepada setiap laki-laki dan perempuan, dan Dia telah menyinari setiap jiwa dengan obor akal pikiran, sehingga seluruh hambaNya dapat meraih keselamatan.” (Nizami, 2007: 185).

3. Bentuk religiusitas tokoh Sayid dalam hubungannya dengan Pencipta dalam novel Laila Majnun karya Nizami

Dari sisi agama sang Sayid dalam permohonannya untuk memperoleh anak kepada sang pencipta yaitu dilakukan dengan doa, berpuasa, dan berderma agar ia dikabulkan untuk mendapatkan anak.
”Dan demikianlah, sang Sayid selalu berdoa, berpuasa, dan berderma hingga ketika ia baru saja akan menyerah, Tuhan akhirnya mengabulkan permintaannya. Ia dianugerahi seorang anak laki-laki.” (Nizami, 2007: 13).

Novel Laila Majnun setting di jazirah Arab yang notabene memiki sejarah tentang islam dan penduduknya mayoritas islam. Saat tahu ketika Qais menjadi gila karena cintanya yang tak sampai penduduk mengusulkan kepada sang sayid (ayah Qais) untuk membawa Majnun ke rumah Tuhan yang paling suci yakni di Ka’bah agar Majnun sadar akan ketaksadarannya hingga dia melupakan dan tak memperdulikan dirinya sendiri, saudara-saudaranya, tetapi ia hanya mengingat Laila, Tuhan yang ia dewa-dewakan.

”Sekali lagi sang Sayid mengadakan rapat yang dihadiri oleh seluruh tetua kabila untuk membicarakan masalah anaknya. Setelah musywarah yang begitu panjang, pikiran mereka yang hadir tertuju kepada Mekkah dan rumah Tuhan yang paling suci, Ka’bah.” (Nnizami, 2007: 43).
Ka’bah sebagai tempat suci untuk beribadah dan merenung bagi umat manusia dan para malaikat; ia adalah alat penghubung langit dan bumi dimana semua manusia meminta pertolongan dan pengampunan Tuhan. Penduduk berharap dengan kasih sayangNya, dia akan menolong kita dan menyembuhkan Majnun dari penyakitnya. Mereka memohon padaNya untuk menyembukanmu dari kegilaanmu. Mintalah belas kasih dari-Nya, agar Dia menganugerahkan pengampunan, dan memandumu kembali kejalan kewarasan dan kebaikan.

KESIMPULAN
Mengacu pada pembahasan analisis data dapat ditarik simpulan religiusitas tokoh dalam novel Laila Majnun karya Nizami yang menggunakan tinjauan gharizah tadayyun Ismail, maka diperoleh kesimpulan bahwa manusia memiliki potensi naluri beragama (gharizah tadayyun) karena sifat fitrah juga manusia adalah makhluk terbatas yang lemah dan membutuhkan sesuatu yang lebih agung darinya. Bentuk pemenuhannya yaitu seperti berdoa kepadaNya, berpuasa, beribadah haji, ataupun berderma yang mengarah untuk mengingat sang PenciptaNya sebagai Dzat Yang Maha Agung. Dia percaya bahwa segala hal yang ada di dunia ini tidak kekal dan merupakan ciptaan sedangkan ciptaan selalu ada pencipta yang bersifat azali.
Tokoh-tokoh dalam novel Laila Majnun (Laila, Majnun, Sayid) menunjukkan kedekatan mereka dengan sang Pencipta dalam mensucikan Tuhannya dengan beragam bentuk pemenuhan naluri beragama mereka. Hal ini menunjukkan naluri beragama sebagai potensi fitrah yang di miliki manusia sselalu ada dalam setiap jiwanya, tetapi pemenuhannya tertuju kepada siapa itulah yang menjadi perbedaannya. Umat Islam mensucikan Allah sebagai Tuhan yang menciptakannya yang bersifat azali (kekal) yang tiada tandingannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Husain Muhammad. 1996. Mafahim Islam. Bangil-JATIM: Al-Izzah
Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Hadi, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Matahari
Ismail, Muhammad. 1993. Bunga Rampai Pemikiran Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Mangunwijaya, YB. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan
Moralia, Tri Natarin. 2004. Religiusitas Tokoh Bodhi dalam Novel Supernova Episode Akar Karya Dewi Lestari. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JBSI FBS UNESA.
Muawanah, Siti. 2005. Religiusitas dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El shirazy. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JBSI FBS UNESA
Najid, Moch. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unesa Press
Nizami. 2007. Laila Majnun. Bandung; Oase Mata Air.
Ratna, Nyona Khuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar